Tuesday, 24 November 2020

skripsi tentang leukimia dan askep

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

II.1 Leukemia

II.1.1 Epidemologi

Insidensi Leukemia di Amerika adalah 13 per 100.000 penduduk /tahun ( Wilson, 1991 ) . Leukemia pada anak berkisar pada 3 – 4 kasus per 100.000 anak / tahun . Untuk insidensi ANLL di Amerika Serikat sekitar 3 per 200.000 penduduk pertahun. Sedang di Inggris, Jerman, dan Jepang berkisar 2 – 3 per 100.000 penduduk pertahun ( Rahayu, 1993, cit Nugroho, 1998 ) . Pada sebuah penelitian tentang leukemia di RSUD Dr. Soetomo/FK Unair selama bulan Agustus-Desember 1996 tercatat adalah 25 kasus leukemia akut dari 33 penderita leukemia. Dengan 10 orang menderita  ALL  ( 40% ) dan 15 orang menderita AML  (60 %)  ( Boediwarsono, 1998 ) .

 

II.1.2 Etiologi

Penyebab leukemia sampai sekarang belum jelas, tapi beberapa faktor diduga menjadi penyebab, antara lain :

1. Genetik

a. keturunan

a.1. Adanya Penyimpangan Kromosom

Insidensi leukemia meningkat pada penderita kelainan kongenital, diantaranya pada sindroma Down, sindroma Bloom, Fanconi’s Anemia, sindroma Wiskott-Aldrich, sindroma Ellis van Creveld, sindroma Kleinfelter, D-Trisomy sindrome, sindroma von Reckinghausen, dan neurofibromatosis ( Wiernik, 1985; Wilson, 1991 ) . Kelainan-kelainan kongenital ini dikaitkan erat dengan adanya perubahan informasi gen, misal pada kromosom 21 atau C-group Trisomy, atau pola kromosom yang tidak stabil, seperti pada aneuploidy . 

a.2  Saudara kandung

Dilaporkan adanya resiko leukemia akut yang tinggi pada kembar identik dimana kasus-kasus leukemia akut terjadi pada tahun pertama kelahiran . Hal ini berlaku juga pada keluarga dengan insidensi leukemia yang sangat  tinggi ( Wiernik,1985 ) .

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan di ketahui dapat menyebabkan kerusakan kromosom dapatan, misal : radiasi, bahan kimia, dan obat-obatan yang dihubungkan dengan insiden yang meningkat pada leukemia akut, khususnya ANLL ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 ) .

2. Virus

Dalam banyak percobaan telah didapatkan fakta bahwa RNA virus menyebabkan leukemia pada hewan termasuk primata .

Penelitian pada manusia menemukan adanya RNA dependent DNA polimerase pada sel-sel leukemia tapi tidak ditemukan pada sel-sel normal dan enzim ini berasal dari virus tipe C yang merupakan virus RNA yang menyebabkan leukemia pada hewan. ( Wiernik, 1985 ) . Salah satu virus yang terbukti dapat menyebabkan leukemia pada manusia adalah Human T-Cell Leukemia . Jenis leukemia yang ditimbulkan adalah Acute T- Cell Leukemia . Virus ini ditemukan oleh Takatsuki dkk ( Kumala, 1999 ) .

3. Bahan Kimia dan Obat-obatan

a. Bahan Kimia

Paparan kromis dari bahan kimia ( misal : benzen ) dihubungkan dengan peningkatan insidensi leukemia akut, misal pada tukang sepatu yang sering terpapar benzen. ( Wiernik,1985; Wilson, 1991 )

Selain benzen beberapa bahan lain dihubungkan dengan resiko tinggi dari AML, antara lain : produk – produk minyak, cat , ethylene oxide, herbisida, pestisida, dan ladang elektromagnetik  ( Fauci, et. al, 1998 ) .

4. Obat-obatan

Obat-obatan anti neoplastik ( misal : alkilator dan  inhibitor topoisomere II ) dapat mengakibatkan penyimpangan kromosom yang menyebabkan AML . Kloramfenikol, fenilbutazon, dan methoxypsoralen dilaporkan menyebabkan kegagalan sumsum tulang  yang lambat laun menjadi AML ( Fauci, et. al, 1998 ) .

5. Radiasi

Hubungan yang erat antara radiasi dan leukemia ( ANLL ) ditemukan pada pasien-pasien anxylosing spondilitis yang mendapat terapi radiasi, dan pada kasus lain seperti peningkatan insidensi leukemia pada penduduk Jepang yang selamat dari ledakan bom atom. Peningkatan resiko leukemia ditemui juga pada pasien yang mendapat  terapi radiasi misal : pembesaran thymic, para pekerja yang  terekspos radiasi dan para radiologis .

 

6. Leukemia Sekunder

Leukemia yang terjadi setelah perawatan atas penyakit malignansi lain disebut Secondary Acute Leukemia ( SAL ) atau treatment related leukemia . Termasuk diantaranya penyakit Hodgin, limphoma, myeloma, dan kanker payudara . Hal ini disebabkan karena obat-obatan yang digunakan termasuk golongan imunosupresif selain menyebabkan dapat menyebabkan kerusakan DNA .

 

II.1.4.  Klasifikasi Leukemia Akut

Berdasarkan klasifikasi French American British ( FAB ), leukemia akut terbagi menjadi 2 ( dua ), Acute Limphocytic Leukemia ( ALL ) dan Acute Myelogenous Leukemia (AML).

ALL sendiri terbagi menjadi 3, yakni :

- L1

Sel-sel leukemia terdiri dari limfoblas yang homogen dan L1 ini banyak menyerang anak-anak.

- L2

Terdiri dari sel sel limfoblas yang lebih heterogen bila dibandingkan dengan L1. ALL jenis ini sering diderita oleh orang dewasa.

- L3

Terdiri dari limfoblas yang homogen, dengan karakteristik berupa  sel Burkitt. Terjadi baik pada orang dewasa maupun anak-anak dengan prognosis yang buruk .

 

 

AML terbagi menjadi 8 tipe :

- Mo ( Acute Undifferentiated Leukemia )

Merupakan bentuk paling tidak matang dari AML, yang juga disebut sebagai AML dengan diferensiasi minimal .

- M1 ( Acute Myeloid Leukemia  tanpa maturasi )

Merupakan leukemia mieloblastik klasik yang terjadi hampir seperempat dari kasus AML. Pada AML jenis ini terdapat gambaran azurophilic granules dan Auer rods. Dan sel leukemik dibedakan menjadi 2 tipe, tipe 1 tanpa granula dan tipe 2 dengan granula, dimana tipe 1 dominan di M1 .

- M2 ( Akut Myeloid Leukemia )

Sel leukemik pada M2 memperlihatkan kematangan yang secara morfologi berbeda, dengan jumlah granulosit dari promielosit yang berubah menjadi granulosit matang berjumlah lebih dari 10 % . Jumlah sel leukemik  antara 30 – 90 %. Tapi lebih dari 50 % dari jumlah sel-sel sumsum tulang di M2 adalah mielosit dan promielosit .

- M3 ( Acute Promyelocitic Leukemia )

Sel leukemia pada M3 kebanyakan adalah promielosit dengan granulasi berat, stain mieloperoksidase + yang kuat. Nukleus bervariasi dalam bentuk maupun ukuran, kadang-kadang berlobul . Sitoplasma mengandung granula besar, dan beberapa promielosit mengandung granula  berbentuk seperti debu . Adanya Disseminated Intravaskular Coagulation ( DIC ) dihubungkan dengan granula-granula abnormal ini .

 

 

- M4 ( Acute Myelomonocytic Leukemia )

Terlihat  2 ( dua ) type sel, yakni granulositik dan monositik , serta sel-sel leukemik lebih dari 30 % dari sel yang bukan eritroit. M4 mirip dengan M1, dibedakan dengan cara 20% dari sel yang bukan eritroit adalah sel pada jalur monositik, dengan tahapan maturasi yang berbeda-beda.

Jumlah monosit pada darah tepi lebih dari 5000 /uL. Tanda lain dari M4 adalah peningkatan proporsi dari eosinofil di sumsum tulang, lebih dari 5% darisel yang bukan eritroit, disebut dengan M4 dengan eoshinophilia. Pasien–pasien dengan AML type M4  mempunyai respon terhadap kemoterapi-induksi standar.

- M5 ( Acute Monocytic Leukemia )

Pada M5 terdapat lebih dari 80% dari sel yang bukan eritroit adalah monoblas, promonosit, dan monosit. Terbagi menjadi dua, M5a  dimana sel monosit dominan adalah monoblas, sedang pada M5b adalah promonosit dan monosit. M5a jarang terjadi dan hasil perawatannya cukup baik.

- M6 ( Erythroleukemia )

Sumsum tulang terdiri lebih dari 50% eritroblas dengan derajat berbeda dari gambaran morfologi Bizzare. Eritroblas  ini mempunyai gambaran morfologi abnormal berupa bentuk multinukleat yang raksasa. Perubahan  megaloblastik ini terkait dengan maturasi yang tidak sejalan antara  nukleus dan  sitoplasma . M6 disebut  Myelodisplastic Syndrome ( MDS ) jika sel leukemik kurang dari 30% dari sel yang bukan eritroit . M6 jarang terjadi dan biasanya kambuhan terhadap kemoterapi-induksi standar  .

- M7  ( Acute Megakaryocytic Leukemia )

Beberapa sel tampak berbentuk promegakariosit/megakariosit.

( Yoshida, 1998; Wetzler dan Bloomfield, 1998 )

 

II.1.5  Manifestasi Klinis leukemia Akut

 Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah :AnemiaDemamPerdarahan , purpura, epistaksis ( sering ), hematoma, infeksi oropharingeal, pembesaran nodus limfatikus, lemah ( weakness ), faringitis, gejala mirip flu ( flu like syndrome ) yang merupakan manifestasi klinis awal, splenomegali, hepatomegali,   limfadenopati, ikterus (  Cawson 1982;  De Vita Jr.,1985,  Archida, 1987;  Lister, 1990; Rubin,1992 ) .

Manifestasi dalam mulut penderita leukemia akut akan dibahas pada II.2 .

 

II.1.6  Patogenesa Leukemia Akut

Manifestasi klinis penderita leukemia akut disebabkan adanya penggantian sel pada sumsum tulang oleh sel leukemik , menyebabkan gangguan produksi sel darah merah . Depresi produksi platelet yang menyebabkan purpura dan kecenderungan terjadinya perdarahan . Kegagalan mekanisme pertahanan selular karena penggantian sel darah putih oleh sel lekemik, yang menyebabkan tingginya kemungkinan untuk infeksi . Infiltrasi sel-sel leukemik ke organ-organ vital  seperti liver dan limpa oleh  sel-sel leukemik yang dapat menyebabkan pembesaran dari organ-organ tersebut . ( Cawson, 1982 )

 

II.1.7  Diagnosa Leukemia Akut

Penegakan diagnosa leukemia akut dilakukan dengan berdasarkan pada anamnesa , pemeriksaan klinis , pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang pada beberapa kasus . Pada pemeriksaan darah, sel darah putih menunjukkan adanya kenaikan jumlah, penurunan jumlah, maupun normal, pemeriksaan trombosit menunjukkan penurunan jumlah, pemeriksaan hemoglobin menunjukkan penurunan nilai  ( De Vita Jr, 1993 ), pemeriksaan sel darah merah menunjukkan penurunan jumlah dan kelainan morfologi  ( Cawson, 1982 ;De Vita Jr, 1993 ), adanya sel leukemik sejumlah 5 % cukup untuk mendiagnosa kelainan darah sebagai leukemia, tapi sering dipakai nilai yang mencapai 25 % atau lebih  ( Altman J.A.,1988 cit De Vita Jr, 1993 ) . Pemeriksaan dengan pewarnaan Sudan Black, PAS, dan mieloperoksidase  untuk pembedaan AML dan ALL, ( De Vita Jr, 1993 ; Boediwarsono, 1996 ; Yoshida, 1996 ) .

 

II.2  Kelainan Rongga Mulut Yang  Berhubungan Dengan Leukemia Akut

Kelainan rongga mulut disini adalah kelainan – kelainan yang timbul pada rongga mulut penderita leukemia akut, diantaranya adalah :

 

II.2.1. Pembengkakan gusi

Pembengkakan gusi berupa pembengkakan papila dan margin gusi. Pembengkakan ini terjadi akibat infiltrasi sel leukemik di dalam lapisan retikular mukosa mulut , di buktikan dari hasil biopsi dan FNAB mukosa rongga mulut ( Nugroho, 1991 ; Berkovitz 1995 ) . Mukosa mulut yang  mengalami infiltrasi sel leukemik adalah  mukosa yang sering mengalami trauma minor, misal mukosa sepanjang garis oklusi, palatum, lidah dan sudut mulut  ( Rusliyanto, 1986; Glickman, 1958 cit Berkovitz 1995 ) . Gejala ini ditemukan pada 14,28 % penderita leukemia ( Archida, 1987 ) dan khas pada leukemia monositik dan mielomonositik akut ( Rusliyanto, 1980; Wiernik, 1985 ; Berkovitz, 1995 ) . Pembesaran gusi ini juga diduga diakibatkan oleh inflamasi kronis yang disebabkan oleh plak, berupa inflamasi karena gingivitis kronis  derajat ringan yang juga ditemui pada gusi yang sehat secara klinis  ( Widjaja, 1992; Moughal et al, 1991 cit Berkovitz 1995 ) .

 

II.2.2. Perdarahan

Perdarahan pada kasus leukemia bisa berupa petekie, ekimosis maupun  perdarahan spontan ( Lister, 1990 ) . Sering terjadi pada kasus-kasus leukemia akut yang disertai penurunan jumlah trombosit ( trombositopeni ) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit ( Widmann, 1995 ) . Trombosit merupakan komponen penting dalam proses pembekuan darah, yaitu berfungsi untuk membentuk sumbat trombosit . Sumbat trombosit  berasal dari agregrasi  trombosit yang menutup robekan pembuluh darah . Trombosit juga berperan terhadap aktivasi fibrinogen menjadi fibrin yang merupakan sumbat tetap dalam proses pembekuan darah . Penurunan jumlah trombosit ( trombositopeni ) serta keabnormalan morfologi dan fungsi trombosit akan mengakibatkan kecenderungan perdarahanan ( Guyton, 1994; Ganiswara, 1995 ) . Perdarahan diakibatkan juga karena kerusakan pembuluh darah . Kerusakan pembuluh darah diakibatkan oleh rupturnya kapiler . Darah meningkatnya viskositasnya akibat adanya sel leukemik dengan konsentrasi tinggi . Kondisi ini menyebabkan tekanan intra kapiler darah meningkat . aliran darah yang seharusnya  ke sisi bertekanan rendah terhalang karena infiltrasi sel leukemik yang membentuk emboli . Penghentian aliran darah dengan viskositas dan tekanan tinggi ini menyebabkan pembuluh darah kapiler ruptur ( Wiernik, 1985 ) . Kebersihan rongga mulut  yang buruk, jaringan periodontal yang tidak sehat dan iritasi lokal diduga menjadi penyebab lain dari perdarahan rongga mulut ( Wezler, 1991; Nugroho 1998 )  . Kondisi lokal rongga mulut yang buruk, dapat menyebabkan keradangan dan berakibat mudah terjadi perdarahan .

 

II.2.3. Ulserasi

Ulserasi pada rongga mulut penderita leukemia akut diduga disebabkan karena adanya kegagalan mekanisme pertahanan tubuh . Neutrofil mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi . Pada kondisi ini trauma yang kecil pun dapat menyebabkan terjadinya ulser ( Rusliyanto, 1986 ) .

Jumlah sel leukemik yang banyak pada darah tepi dapat menyebabkan statis pembuluh darah kecil sehingga terjadi anemia ( Burket, 1940 cit    Berkovitz , 1995,  Sinrod, 1957 cit    Berkovitz , 1995 ; Bodey, 1971 cit    Berkovitz , 1995 ; Segelman dan Doku, 1977, cit Berkovitz , 1995 ) selanjutnya terjadi nekrosis dan ulkus ( Rusliyanto, 1986 ) .

 

II.2.4. Limfadenopati

limfadenopati berupa pembesaran kelenjar limfe, terjadi akibat adanya infiltrasi sel leukemik ke dalam kelenjar limfe ( Lister, 1990; Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995;  ) dan juga diduga adalah limfadenitis reaktif sebagai proses pertahanan tubuh terhadap tubuh terhadap radang yang merupakan proses fisiologis tubuh ( Rubbins dan Khumar, 1992 ) . Menurut Guyton et. al. ( 1994 ) limfadenopati ini juga terjadi akibat adanya proses hematopoeisis ekstra medular pada nodus limfatikus . Hematopoesis yang pada usia dewasa seharusnya terjadi pada sumsum tulang, terganggu karena sel leukemik dari proses multiplikasi sel prekursor leukemik mempunyai masa hidup yang lebih lama, menginfiltasi sumsum tulang serta mendesak sel-sel normal . Pernyataan Guyton ini didukung oleh W.F. Ganong ( 1995  ) yang menyatakan bahwa hematopoesis ekstra medular dapat terjadi pada usia dewasa akibat adanya penyakit yang menyebabkan fibrosis atau kerusakan sumsum tulang . Pembesaran ini mampu mencapai ukuran  sebesar telur ayam ( Pitojo  S, 1992 ) .

 

II.2.5. Infeksi

Infeksi sangat sering terjadi pada penderita leukemia akut, baik infeksi jamur, bakteri maupun infeksi virus . Kondisi ini diakibatkan oleh kegagalan mekanisme pertahanan tubuh untuk menanggulangi infeksi . Pada penderita leukemia akut terjadi neutropenia ( Barret, 1986 ) dan  neutrofil  itu sendiri mengalami penurunan fungsi berupa kegagalan fagositosis dan migrasi ( Rusliyanto, 1986; Berkovitz, 1995 ) . Infeksi jamur yang paling banyak dijumpai adalah infeksi jamur Candida Albicans yang mencapai 60 % pada penderita ALL ( Reskiasih, 2000 ) . Infeksi jamur kandida secara klinis dapat dijumpai berupa lesi putih maupun lesi merah . Lesi putih berupa warna yang lebih putih dari jaringan disekelilingnya, lebih tinggi dari sekitarnya, lebih kasar atau memiliki tekstur yang berbeda dari jaringan normal yang ada di sekelilingnya . Lesi putih -ini bisa merupakan lesi yang keratotik atau non keratotik berdasarkan kemudahan diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut . Lesi yang sulit / tidak bisa diangkat dengan gosokan atau kerokan lembut dianggap sudah melibatkan  penebalan epitel mukosa dan mungkin sebagai akibat  dari mengangkatnya  ketebalan lapisan yang berkeratosis ( hiperkeratosis ) dan disebut lesi keratotik. Lesi yang mudah diangkat dan  seringkali menimbulkan suatu daerah yang kasar atau sedikit kemerahan dari mukosa bisa berupa debris atau peradangan pada pseudomembranous mukosa mulut  yang disebut lesi non keratotik. Lesi akibat infeksi jamur Kandida seringkali dikaitkan dengan keradangan pada pseudomembranous mukosa atau ikut berperan dalam etiologi lesi hiperkeratotik walaupun dapat berupa lesi putih yang disertai lesi hipokeratotik . Infeksi jamur yang lain dapat berupa angular cheilitis, dan median rhomboid glossitis ( Brightment, 1993 ) . Infeksi bakteri gram negatif yang menyebabkan pneumonia sangat sering terjadi . Dan satu-satunya tanda klinis yang biasa dijumpai adalah demam ( Wiernik; 1985 ) . Infeksi virus yang sering ditemui adalah infeksi Herpes Zoster yang mempunyai prosentase cukup tinggi yaitu 40 % pada penderita leukemia akut jenis AML dan  30 % leukemia akut jenis ALL ( Barret,1986 ) .  Salah satu komplikasi infeksi, yaitu sepsis merupakan penyebab kematian terbesar pada penderita leukemia akut yang mencapai  52,63 % ( Archida, 1987 ) .  

 

 

 

 

Wednesday, 11 November 2020

askep tetanus

 LAPORAN PENDAHULUAN

 

ASUHAN KEPERAWATAN  KLIEN DENGAN TETANUS

 

DI RUANG ICU

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Nama Mahasiswa : Subhan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2019

 

 

TETANUS

 

 

PENGERTIAN

Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostridium tetani. yang bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.

 

ETIOLOGI

Clostridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang, berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh clostridiumTetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.

 

PATOFISIOLOGI

Suasana yang memungkinkan organisme anaerob berpoliferasi dapat disebabkan berbagai keadaan antara lain :

1. Luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, kuku, pecahan kaleng pisau, cangkul dan lain-lain.

2. Luka karena kecelakaan kerja, (kena parang) kecelakaan lalu-lintas

3. Luka-luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga, tonsil

 

Cara kerja toksin

Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu silindrik ke SSP. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin bersifat seperti antigen, sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin spesifik.

 

FAKTOR PREDISPOSISI

Umur tua atau anak-anak

Luka yang dalam dan kotor

Belum terimunisasi

 

TANDA DAN GEJALA:

Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2 - 21 hari

Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)

Kesukaran membuka mulut (trismus)

Kaku-kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang

Saat kejang tonik tampak risus sardonikus

 

GAMBARAN UMUM YANG KHAS PADA TETANUS

1. Badan kaku dengan epistotonus

2. Tungkai dalam ekstensi

3. Lengan kaku dan tangan mengepal

4. Biasanya kesadaran tetap baik

5. Serangan timbul paroksismal dan dapat dicetuskan oleh karena :

Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan.

Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi : aspiksia, sianosis, retensi urin, fraktur vertrebralis (pada anak-anak), demam ringan (stadium akhir), pada saat kejang suhu dapat naik 2 - 4 derajat celsius dari normal, diaphoresis, takikardi, sulit menelan.

 

PROGNOSA

Sangat buruk bila : ada OMP (otitis Media Purulen),  Luka pada kulit kepala

 

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Diagnosa didasarkan pada : Riwayat perlukaan disertai keadaan klinis kekakuan otot rahang.

Laboratorium : Leukositosis ringan, peninggian tekanan cairan otak, deteksi kuman sulit.

 

PENATALAKSANAAN

1. Tetanus merupakan keadaan darurat, pengobatan dan perawatan harus segera diberikan :

2. Netralisasi toksin dengan injeksi 3000 - 6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar luka  (tidak boleh diberikan melalui IV)

3. Debridemant luka, biarkan luka terbuka

4. Penanggulangan kekejangan : isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemberian obat penenang.

5. Pemberian Penisilin G cair  10 - 20 juta iu (dosis terbagi) dapat diganti tetraciklin/Klindamisin untuk membunuh kolistrida vegetatif

6. Problema pernapasan : Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu

7. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit

8. Diit TKTP melalui oral/sonde/parenteral

 

DIAGNOSA PERAWATAN

 

DIAGNOSA

1. Kebersihan jalan napas tidak efektif sehubungan dengan penumpukan sputum pada trakhea, dan spasme otot-otot pernapasan

 

 

2. Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan jalan napas terganggu akibat spasme otot-oto pernapasan

 

 

 

 

 

 

 

3. Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari sehubungan dengan kondisi lemah  dan sering kejang

 

 

 

4. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari yang dibutuhkan sehubungan dengan kekakuan otot-otot pengunyah

 

5. Gangguan Hubungan interpersonal sehubungan dengan kesulitan bicara

 

 

6. Potensial terjadinya gangguan keseimbangan  cairan sehubungan dengan kesulitan menelan

 

 

 

7. Gangguan integritas kulit

 

 

8. Kurangnya pengetahuan pasien akan penyakitnya: roses pencetus, penanggulangan sehubungan dengan kurangnya informasi

 

 

 

9. Gangguan rasa nyaman: kurang istirahat sehubungan dengan seringnya kejang-kejang

INTERVENSI

Atur posisi tubuh pasien

Bantu mengeluarkan lendir  (suction bila perlu)

Pemberian cairan yang adekuat

Beri oksigen bila perlu

 

Monitor irama pernapasan dan respiratori rate

Observasi adanya tanda-tanda sianosis

Monitor suhu tubuh

Kaji tingkat kesadaran

Atur posisi : luruskan jalan nafas

Pemberian oksigen kalau perlu

Kolaborasi : monitor Astrup

 

Bantu semua kebutuhan pasien

Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman

Cegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring yang lama

 

Pasang selang NGT (bilaperlu)

Berikan makanan sesuai anjuran ahli gizi

 

 

Ciptakan hubungan yang harmonis

Ajarkan cara menjawab bila ditawarkan sesuatu

 

Pemberian cairan yang adekuat (NGT/parenteral)

Kaji turgor kulit:kelembaban suhu tubuh

Monitor intek dan output

 

Bersihkan luka biarkan terbuka

Kolaborasi: antibiotika dan roboransia

 

Kaji tingkat pengetahuan pasien

Berikan pendidikan kesehatan sesuaikan tingkat pengetahuan

Evaluasi hasil pendidikan yang telah diberikan

 

Beri pengertian tentang proses penyakit dan keadaan yang timbul

Beri suasana yang tenang atau sedikit rangsang

Kolaborasi: Diazepam dan valium


KEPUSTAKAAN:

1. Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam , Jakarta Universitas Indonesia Press, 1990

2. Thedore.R, Ilmu Bedah, Jakarta, EGC, 1993

3. Maryln Doengoes, Nursing Care Plan, Edisi III, Philadelpia, 1993


No

DIAGNOSA PERAWATAN

TUJUAN

INTERVENSI

RASIONAL

IMPLEMENTASI

EVALUASI

1.

Potensial Injuri / trauma sehubungan dengan :

Kekakuan otot - otot rahang,mulut,wajah,ekstremitas.

kemungkinan terjatuh pada saat serangan.

Kelemahan umum.

Afasia, vertigo

Kecelakaan tidak terjadi :

pasien tidak terjatuh pada saat serangan.

Lidah tidak tergigit.

tidak terjadi aspirasi (sekret).

 

1. Minitor tanda-tanda kekakuan tubuh, mulut, wajah serta luka dari perdarahan.

2. Berikan pengaman, bantal, penghalang tempat tidur.

3. Mempertahanlan posisi bed rest pada saat serangan.

4. Lindungi lidah dengan tong spatel pada saat serangan.

5. Minimalkan faktor pencetus :

ketenangan, reseptor

6. Siapkan alat emergensi /resusitasi dan berikan life support.

Monitor ketat reaksi anafilaktik pada saat pemberian ATS

Tanda-tanda awal kekakuan untuk cepat dilakukan intervensi guna memcegah komplikasi.

Mencegah proteksi pada saat serangan

 

Menghindari resiko terjatuh

 

Menghindari lidah tergigit.

 

Lingkungan tenang mengurangi timbulnya serangan.

Untuk emergensi bila terjadi syok.

 

 

Pemberian ATS dapat menimbulkan reaksi anafilaktik.

Tanggal 1 Mei 2002

Observasi tanda-tanda kekakuan :

trismus (+), Kaku kuduk (+), Extremitas (+) , kesadaran baik.

Memasang pengaman samping tempat tidur.

Mempertahankan posisi tidur , miring kiri/kanan.

Menyiapkan tong spatel.

 

Memberikan lingkungan bersih ,suasan tenang, lantai , alat tenun semua bersih.

Memberikan obat dan mengobservasi kemungkinan terjadi anafilaktik syok.

ATS : 20.000 IU

PP : 2 x 1,5 juta IU

Deazepam  5 mg  3 x 1

S: Pasien mengeluh sulit bicara,extremitas terasa kaku, leher terasa kaku, sulit buka mulut.

O: serangan tidak terjadi, kekakuan otot di seluruh tubuh, kesadaran baik.

A: TD : 130/90, Nadi : 84x/mt, Respirasi : 20 x/mt, suhu : 36 derajat C,Konsul fisiotherapi untuk latihan gerak.

P: Implementasi si diteruskan.

2.

 

 

 

 

 

 

Potensial Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi sehubungan dengan :

Perubahan kemampuan penyerapan zat makanan.

kekakuan otot untuk mengunyah dan menelan.

Hipermetabolik.

Menunjukkan terpeliharanya berat badan.

Tidak terdapat tanda-tanda mal nutrisi sampai pada batas normal.

1. Kaji kemampuan mengunyah, menelan dan mengeluarkan sekret.

2. Auskultasi bising usus

 

 

3. Timbang BB secara teratur.

4. Elefasi kepala pada saat makan

5. Beri makan dalam porsi kecil tapi sering.

Kolaborasi :

Konsul pada ahli gizi.

Monitor hasil lab : albumin, glukosa, elektrolit.

Pasang alat bantu pemasukan makanan (tube). Spech fisioterapi bila terjadi gangguan menelan, rahang patah,kontraktur tangan dan paralisis.

Untuk menentukan bentuk makanan dan mencegah timbulnya aspirasi.

 

Fungsi GIT dipengaruhi kerja otak,bunyi usus menandakan adanya respon terhadap makanan.

Untuk evaluasi terapi nutrisi.

Menghindari aspirasi dan regurgitasi.

 

Toleransi penyerapan dan penyesuaian terhadap makanan.

 

Kebutuhan nutrisi yang disesuaikan dengan usia dan postur tubuh.

Identifikasi keberhasilan terapi nutrisi

Jika gangguan menelan terjadi

Membantu meningkatkan pergerakan/ mobilisasi

Menanyakan dan oservasi pasien tentang mengunyah, menelan, buka mulut dan makan yang disukai.

Auskultasi bising usus.

 

 

Pasien belum ditimbang, kondisi masih lemah, belum bisa turun dari tempat tidur.

Mengangkat kepala pasien pada saat menyuapi makanan.

Menyuapi pasien dengan diit bubur saring.

 

 

 

 

S: pasien menyatakan dapat makan sedikit- sedikit,dan menyukai semua jenis makanan.

O: refleks menelan baik, buka mulut agak sukar, mengunyah baik,Bising usus ada,makanan (diit) dapat habis.

A: Malnutrisi tidak terjadi.

P: Implementasi dilanjutkan.

3

Pengetahuan kurang tentang proses penyakit dan prognosis yang ditandai dengan :

S: Pasien menanyakan tentang penyakitnya, apakah dapat sembuh ?

O: pasien tampak gelisah dan sering bertanya.

Pasien dapat mengerti tentang penyakitnya dan dapat menjelaskan kembali

1. Diskusikan program perawatan yang dilaksanakan sekarang yang tdd: diit, dosis obat,prognosis,hasil yang diharapkan.

2. Anjurkan pasien untuk mengikuti semua instruksi dengan mengingat, jika perlu ditulis.

Jelaskan dan diskusikan tentang perawatan mandiri pasien dan keluarga.

Memberikan kejelasan dan sebagai follow up jika pasien pulang.

 

 

 

Membantu bila terjadi masalah yang sama (dirumah).

 

 

Meningkatkan peran pasien dalam perawatan diri sendiri.

Berdiskusi bersama pasien dan suami pasien tentang penyakit dan bagai mana pencegahannya

 

 

mendiskusikan tentang bagaimana dirumah nanti, untuk mencegah tidak terulang lagi

 

Mengajarkan tentang personal hygiene untuk pasien dan suami pasien.

S: Menyatakan mengerti dan tidak ingin terulang lagi.

O: pasien dan suami pasien melaksanakan semua yang tekah diajarkan.

A: Penjelasan sudah disampaikan.

P: Implementasi dilanjutkan bila masih ada hal-hal yang belum mengerti.

 

 

 

 

 

 

Tanggal 2 Mei 1996

Observasi tanda - tanda kekakuan :

trismus (+), Kaku kuduk (+), Extremitas (+) , kesadaran baik.

Memasang pengaman samping tempat tidur.

Mempertahankan posisi tidur , miring kiri/kanan.

 

Memberikan obat dan mengobservasi kemungkinan terjadi anafilaktik syok.

ATS : 20.000 IU

PP : 2 x 1,5 juta IU

Deazepam  5 mg  3 x 1

 

S:Pasien mengeluh ,extremitas masin terasa kaku, leher terasa kaku, buka mulut sudah bisa.

O: serangan tidak terjadi, kekakuan otot di seluruh tubuh agak berkurang, kesadaran baik.

A: TD : 130/90, Nadi : 84x/mt, Respirasi : 20 x/mt, suhu : 36 derajat latihan gerak tangan kaki, belajar duduk dan berdiri masih harus dibantu..

P: Implementasi si diteruskan.

 

 

 

 

 

 

oservasi pasien tentang mengunyah, menelan, buka mulut

 

 

Pasien ditimbang, berat badan 70 kg.

 

Mengangkat kepala pasien pada saat menyuapi makanan.

Menyuapi pasien dengan diiit bubur saring.

S: pasien menyatakan dapat makan sedikit- sedikit,

O: refleks menelan baik, buka mulut agak sukar, mengu nyah baik, ,makanan (diit) dapat habis.

A: Malnutrisi tidak terjadi.

P: Implementasi dilanjutkan.

 

 

 

 

 

Menanyakan tentang yang diterangkan kemarin bersama pasien dan suami pasien tentang penyakit dan bagai mana pencegahannya apakah masih ingat

 

 

mengulang mendiskusikan kembali tentang bagaimana dirumah nanti, untuk mencegah tidak terulang lagi penyakit yang sama.

 

Mengajarkan kembali tentang personal hygiene untuk pasien dan suami pasien dan menanyakan hal-hal yang belum mengerti.

S: Menyatakan masih ingat dan dapat mencerita kan kembali sebagian

O: pasien dan suami pasien  mau melaksanakan semua yang tekah diajarkan.

A: Penjelasan sudah disampaikan.

P: Implementasi dilanjutkan.