BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Spina bifida (yang dalam bahasa Inggris padanannya adalah split spine) atau celah pada tulang belakang karena ada ruas-ruas tulang belakang yang gagal menyatu sejak proses awal kehamilan. Tak tertutupnya secara sempurna tabung saraf embrionik, lazim disebut cacat pembuluh saraf (neural tube defect/NTD), mengakibatkan cacat bawaan berupa tungkai pengkor hingga kelumpuhan kaki, kehilangan kontrol buang air kecil dan buang air besar, hingga gangguan tumbuh kembang lainnya.
Penyakit spina bifida atau sering dikenal sebagai sumbing tulang belakang adalah salah satu penyakit yang banyak terjadi pada bayi. Penyakit ini menyerang medula spinalis dimana ada suatu celah pada tulang belakang (vertebra). Hal ini terjadi karena satu atau beberapa bagian dari vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh dan dapat menyebabkan cacat berat pada bayi, ditambah lagi penyebab utama dari penyakit ini masih belum jelas. Hal ini jelas mengakibatkan gangguan pada sistem saraf karena medula spinalis termasuk sistem saraf pusat yang tentunya memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem saraf manusia. Jika medula spinalis mengalami gangguan, sistem-sistem lain yang diatur oleh medula spinalis pasti juga akan terpengaruh dan akan mengalami gangguan pula. Hal ini akan semakin memperburuk kerja organ dalam tubuh manusia, apalagi pada bayi yang sistem tubuhnya belum berfungsi secara maksimal.
Di Amerika Serikat tercatat sekitar 5 per 10.000 kelahiran dengan cacat pembuluh saraf (NTD) seperti spina bifida, encephalocele, dan pertumbuhan otak tak sempurna (anencephaly). Di Indonesia diperkirakan tingkat NTD seperti spina bifida cukup tinggi, yaitu 15 per 10.000 kelahiran (Kompas, 14/9/2007).
Spina bifida kira-kira muncul pada 2-3 dari 1000 kelahiran, tetapi bila satu anak telah terinfeksi maka resiko untuk anak yang lain menderita spina bifida sepuluh kali lebih besar.
Spina bifida ditemukan juga pada ras hispanik dan beberapa kulit putih di Eropa, dan dalam jumlah yang kecil pada ras Asia dan Afrika-Amerika. 95 % bayi yang lahir dengan spina bifida tidak memiliki riwayat keluarga yang sama. Bagaimanapun juga, jika seorang ibu memiliki bayi yang menderita spina bifida , maka resiko hal ini terulang lagi pada kehamilan berikutnya akan meningkat.
Spina bifida tipe okulta terjadi pada 10 – 15 % dari populasi. Sedangkan spina bifida tipe cystica terjadi pada 1 : 1000 kehamilan. Terjadi lebih banyak pada wanita daripada pria (3 : 2) dan insidennya meningkat pada orang China.
Kelainan ini seringkali muncul pada daerah lumbal atau lumbo-sacral junction.(6, 10) Tetapi juga dapat terjadi pada regio servikal dan torakal meskipun dalam skala yang kecil.
Beberapa masalah yang paling sering muncul pada kasus spina bifida adalah :
1. Arnold-Chiari Malformasi, 90% kasus muncul bersamaan dengan spina bifida dimana sebagian massa otak menonjol ke dalam rongga spinal.
2. Hydrosefalus, 70-90% biasanya juga muncul bersamaan dengan spina bifida. Pada keadaan ini terjadi peningkatan berlebihan dari liquor cerebrospinal.
3. Gangguan pencernaan dan gangguan kemih, dimana terjadi gangguan pada saraf yang mempersarafi organ tersebut. Anak-anak sering mengalami infeksi kronik atau infeksi berulang saluran kemih yang disertai kerusakan pada ginjal.
4. Gangguan pada ekstremitas terjadi ± 30% kasus. Gangguan dapat berupa dislokasi sendi panggul, club foot. Gangguan ini dapat terjadi primer atau sekunder karena ketidakseimbangan otot atau paralsis.
(ilmubedah.com)
B. Tujuan Umum
Mampu menjelaskan tentang konsep penyakit spina bifida serta pendekatan asuhan keperawatannya.
C. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi definisi dari spina bifida.
2. Mengidentifikasi etilogi spina bifida.
3. Mengidentifikasi manifestasi klinis spina bifida.
4. Menguraikan patofisiologi spina bifida
5. Mengidentifikasi penatalaksaan serta pencegahan pada spina bifida
6. Mengidentifikasi pengkajian pada klien dengan spina bifida.
7. Mengidentifikasi diagnosa pada klien dengan spina bifida.
8. Mengidentifikasi intervensi pada klien dengan spina bifida.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Spina bifida merupakan anomali dalam pembentukan tulang belakang, yakni suatu defek dalam penutupan saluran tulang belakang. Hal ini biasanya terjadi pada minggu IV masa embrio. Gangguan penutupan ini biasanya terdapat posterior mengenai prosesus spinosus dan lamina; sangat jarang defek terjadi di bagian anterior. Terdapat terbanyak pada vertebra lumbalis atau lumbosakralis.
(Ilmu Kesehatan Anak,1985)
Spina bifida adalah istilah umum untuk NTD (Neural Tube Defects) yang mengenai daerah spinal. Kelainan ini berupa pemisahan arkus vertebrae dan mungkin jaringan saraf dibawahnya mungkin juga tidak.
(T.W.Sadler,2010)
Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus posterior tulang belakang akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis spinalis pada perkembangan awal embrio.
(Chairuddin Rasjad, 1998)
Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan atau tanpa tingkatan protusi jaringan melalui celah tulang.
(Donna L. Wong, 2009)
B. Klasifikasi
1. Spina bifida okulta
Spina bifida okulta merupakan cacat arkus vertebra dengan kegagalan fusi posterior lamina vertebralis dan sering kali tanpa prosesus spinosus. Anomali ini paling sering pada tingkat L3 dan S1, tetapi dapat melibatkan tiap bagian kolumna vertebralis. Dapat disertai anomali korpus vertebra misalnya hemivertebra. Kulit dan jaringan subkutan diatasnya dapat normal atau dengan seberkas rambut abnormal, telangiekstasia atau lipoma subkutan. Spina bifida okulta merupakan temuan terpisah dan tidak bermakna pada sekitar 20% pemeriksaan, radiografi tulang belakang. Sejumlah kecil penderita bayi mengalami cacat perkembangan medula dan radiks spinalis fungsional yang bermakna. Secara patologis kelainan hanya berupa defek yang kecil pada arkus posterior.
2. Spina bifida aperta
Spina bifida aperta merupakan cacat kulit, arkus vertebra dan tuba neuralis pada garis tengah, biasanya didaerah lumbosakral merupakan salah satu anomali perkembangan susunan saraf yang tersering dengan insidens berkisar 0,2-0,4/1000 kelahiran pada kelompok populasi berbeda. Insidens tertinggi dilaporkan pada orang Inggris dan Irlandia. Hanya sedikit yang diketahui mengenai etiologi meningomiekel. Kendatipun tampaknya berkaitan dengan anensefali. Wanita yang mempunyai anak dengan anensefali ataupun meningomiekel, beresiko tinggi untuk kedua keadaan tersebut pada dua keadaan yaitu meningokel dan mielomeningokel. Diferensiasi kllinis keduanya sangat sulit, bilamana tidak ditemukan adanya gejala neurologis maka kemungkinan besar adalah meningokel, apabila struktur saraf juga terlihat disebut mielomeningokel dan biasanya disertai gangguan neurologis.
(Arif Muttaqin, 2008)
C. Etiologi
1. Genetik
2. Hipertermia, kurangnya asam folat dan hipervitaminosis A
3. Risiko tinggi terjadi lagi pada anak dari ibu yang telah melahirkan dengan kelainan Spina bifida
(T.W.Sadler,2010)
D. Patofisiologi
Patofisiologi dari spina bifida mudah dipahami ketika dihubungkan dengan langkah-langkah perkembangan yang normal dari sistem saraf. Pada kira-kira 20 hari dari kehamilan tekanan ditentukan alur neural. Penampakan pada dorsal ectoderm dan embrio. Selama kehamilan minggu ke 4 alur tampak memperdalam dengan cepat, sehingga meninggalkan batas-batas yang berkembang ke samping kemudian sumbu di belakang membentuk tabung neural. Formasi tabung neural dimulai pada daerah servikal dekat pusat dari embrio dan maju pada direction caudally dan cephalically sampai akhir dari minggu ke 4 kehamilan, pada bagian depan dan belakang neuropores tertutup. Kerusakan yang utama pada kelainan tabung neural dapat dikarenakan penutupan tabung neural.
Pada kehamilan minggu ke 16 dan 18 terbentuk serum alfa fetoprotein (AFP) sehingga pada kehamilan tersebut terjadi peningkatan AFP dalam cairan cerebro spinalis. Peningkatan tersebut dapat mengakibatkan kebocoran cairan cerebro spinal ke dalam cairan amnion, kemudian cairan AFP bercampur dengan cairan amnion membentuk alfa-1-globulin yang mempengaruhi proses pembelahan sel menjadi tidak sempurna. Karenanya defek penutupan kanalis vertebralis tidak sempurna yang menyebabkan kegagalan fusi congenital pada lipatan dorsal yang biasa terjadi pada defek tabung saraf dan eksoftalmus (John Rendle,1994).
E. Pathway
Terlampir
F. Manifestasi Klinis
1. Spina bifida okulta dapat asimtomatik/berkaitan dengan :
a. Pertumbuhan rambut disepanjang spina
b. Lekukan digaris tegah, biasanya diarea lumbosakral
c. Abnormalitas gaya berjalan/kaki
d. Kontrol/kandung kemih yang buruk
2. Meningokel dapat asimtomatik/berkaitan dengan :
a. Tonjolan mirip kantong pada meninges dan css dari punggung
b. Club foot
c. Gangguan gaya berjalan
d. Inkontinensia kadung kemih
3. Mielomeningokel berkaitan dengan :
a. Tonjolan meninges, css dan medulla spinalis
b. Defisit neurologis setinggi dan dibawah tempat pajanan
(Corwin, 2007)
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala; sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena.
Gejalanya berupa:
1. Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir
2. Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya
3. Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki
4. Penurunan sensasi
5. Inkontinensia urin (beser) maupun inkontinensia tinja
6. Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis).
7. Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang)
8. Lekukan pada daerah sakrum.
(http://www.medicasatore.com)
Akibat spina bifida, terjadi sejumlah disfungsi tertentu pada rangka, kulit, dan saluran genitourinari akibat spina bifida, tetapi semuanya tergantung pada bagian medulla spinalis yang terkena.
1. Kelainan motoris, sensoris, refleks, dan sfingter dapat terjadi dengan derajat keparahan yang bervariasi.
2. Paralisis flaksid pada tungkai ; hilangnya sensasi dan refleks.
3. Hidrosefalus
4. Skoliosis
5. Fungsi kandung kemih dan usus bervariasi dari normal sampai tidak efektif.
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002)
G. Komplikasi
1. Hidrosefalus dapat terjadi pada meningokel atau mielomeningokel
(Corwin, 2007)
Infeksi urinarius sangat lazim pada pasien inkontinen. Meningitis dengan organisme campuran lazim ditemukan bila kulit terinfeksi atau terdapat sinus. Pada beberapa kasus, filum terminale medulla spinalis tertambat atau terbelah oleh spur tulang (diastematomielia), yang dapat menimbulkan kelemahan tungkai progresif pada pertumbuhan. Sendi charcot dapat terjadi dengan disorganisasi pergelangan kaki, lutut atau coxae yang tak nyeri. Hidrocefalus karena malformasi Arnold-chiari lazim ditemukan.
(Pincus.Catzel,1994)
Komplikasi yang lain dari spina bifida yang berkaitan dengan kelahiran antara lain adalah :
1. Paralisis cerebri
2. Retardasi mental
3. Atrofi optic
4. Epilepsi
5. Osteo porosis
6. Fraktur (akibat penurunan massa otot)
7. Ulserasi, cidera, dikubitus yang tidak sakit.
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002)
H. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada spina bifida dilakukan pada saat janin masih di dalam kandungan maupun setelah bayi lahir :
1. Pemeriksaan pada waktu janin masih di dalam kandungan
a. Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang disebut triple screen. Tes ini merupakan tes penyaringan untuk spina bifida, sindroma Down dan kelainan bawaan lainnya.
b. Fetoprotein alfa serum, 85% wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida, akan memiliki kadar serum alfa fetoprotein yang tinggi. Tes ini memiliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat diagnosis.
c. Kadang dilakukan amniosentesis (analisa cairan ketuban).
2. Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut:a. Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.b. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pda korda spinalis maupun vertebrac. CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan lokasi dan luasnya kelainan.
(http://www.medicasatore.com)
Menurut Cecily L. Betz dan Linda A. Sowden dalam Buku Saku Keperawatan Pediatri :
1. Pemeriksaan diagnostic :
a. kajian foto toraks
b. USG
c. Pemindaian CT
d. MRI
e. amniosentesis.
2. Tes periode antenatal :
a. fetoprotein alfa serum antara kehamilan 16 – 18 minggu
b. USG fetus
c. amniosentesis jika hasil uji lainnya tidak meyakinkan.
3. Uji prabedah rutin :
a. pemeriksaan darah lengkap
b. urinalisis
c. pembiakan dan sensitivitas
d. golongan dan pencocokan silang darah
e. pemeriksaan foto toraks.
I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
Pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk mencegah ruptur. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS pada bayi hidrocefalus dilakukan pada saat kelahiran. Pencangkokan pada kulit diperlukan bila lesinya besar. Antibiotic profilaktik diberikan untuk mencegah meningitis. Intervensi keperawatan yang dilakukan tergantung ada tidaknya disfungsi dan berat ringannya disfungsi tersebut pada berbagai sistem tubuh.
Berikut ini adalah obat-obat yang dapat diberikan :
a. Antibiotic digunakan sebagai profilaktik untuk mencegah infeksi saluran kemih (seleksi tergantung hasil kultur dan sensitifitas).
b. Antikolinergik digunakan untuk meningkatkan tonus kandung kemih.
c. Pelunak feces dan laksatif digunakan untuk melatih usus dan pengeluaran feces.
(Cecily L Betz dan Linda A Sowden, 2002, halaman469)
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Perawatan pra-bedah
1) Segera setelah lahir daerah yang terpapar harus dikenakan kasa steril yang direndam salin yang ditutupi plastik, atau lesi yang terpapar harus ditutupi kasa yang tidak melekat, misalnya telfa untuk mencegah jaringan syaraf yang terpapar menjadi kering.
2) Perawatan prabedah neonatus rutin dengan penekanan khusus pada mempertahankan suhu tubuh yang dapat menurun dengan cepat. Pada beberapa pusat tubuh bayi ditempatkan dalam kantong plastik untuk mencegah kehilangan panas yang dapat terjadi akibat permukaan lesi yang basah.
3) Suatu catatan aktivitas otot pada anggota gerak bawah dan spingter anal akan dilakukan oleh fisioterapist.
4) Lingkaran oksipito-frontalis kepala diukur dan dibuat grafiknya.
b. Pasca bedah
1) Perawatan pasca bedah neonatus umum
2) Pemberian makanan peroral dapat diberikan 4 jam setelah pembedahan.
3) Jika ada drain penyedotan luka maka harus diperiksa setiap jam untuk menjamin tidak adanya belitan atau tekukan pada saluran dan terjaganya tekanan negatif dalam wadah. Cairan akan berhenti berdrainase sekitar 2 atau 3 hari pasca bedah, dimana pada saat ini drain dapat diangkat. Pembalut luka kemungkinan akan dibiarkan utuh, dengan inspeksi yang teratur, hingga jahitan diangkat 10 – 12 hari setelah pembedahan.
4) Akibat kelumpuhan anggota gerak bawah, maka rentang gerakan pasif yang penuh dilakukan setiap hari. Harus dijaga agar kulit di atas perinium dan bokong tetap utuh dan pergantian popok yang teratur dengan pembersihan dan pengeringan yang seksama merupakan hal yang penting.
5) Prolaps rekti dapat merupakan masalah dini akibat kelumpuhan otot dasar panggul dan harus diusahakan pemakaian sabuk pada bokong .
6) Lingkaran kepala diukur dan dibuat grafik sekali atau dua kali seminggu. Seringkali terdapat peningkatan awal dalam pengukuran setelah penutupan cacad spinal dan jika peningkatan ini berlanjut dan terjadi perkembangan hidrosefalus maka harus diberikan terapi yang sesuai.
(Rosa.M.Sacharin,1996)
3. Terapeutik
Penatalaksanaan anak yang menderita spina bifida menuntut pendekatan multidisplin yang melibatkan spesialis neurologi, bedah saraf, pediatric, urologi, ortopedik, rehabilitasi, dan terapi fisik, juga asuhan keperawatan intensif di berbagai area spesialisasi. Upaya kolaboratif dari spesialis ini difokuskan pada :
1) Spina bifida dan masalah yang terkait dengan defek hidrosephalus, paralisis, deformitas ortopedik dan abnormalitas kemih kelamin.
2) Masalah yang mungkin didapat yang terkait atau bukan; seperti meningitis, hipoksia, dan perdarahan
3) Abnormalitas lain seperti malformasi jantung atau gastrointestinal.
a. Masa bayi
Perawatan awal bayi baru lahir meliputi pencegahan infeksi, pengkajian neurologik, termasuk observasi anomali yang berhubungan dan menangani dampak anomali terhadap keluarga. Meskipun meningokel diperbaiki lebih dini, khususnya jika ada bahaya ruptur, filosofi mengenai penutupan kulit pada meningomielokel bermacam-macam. Sebagian besar ahli percaya bahwa penutupan dini, dalam waktu 24 sampai 72 jam, memberikan hasil yang lebih baik. Penutupan dini, lebih sesuai dilakukan pada 12 sampai 18 jam pertama, tidak hanya mencegah infeksi lokal dan trauma pada jaringan yang terpajan, tetapi juga menghindari peregangan akar-akar saraf karena pembesaran sakus meningeal selama jam-jam pertama setelah kelahiran sehingga mencegah kerusakan motorik lebih lanjut.
Masalah yang timbul dikaji dan ditangani dengan tindakan bedah dan tindakan suportif yang tepat. Prosedur pirau menghilangkan hidrosefalus progresif atau iminen. Intervensi bedah untuk malformasi chiari (herniasi otak ke arah bawah ke dalam batang otak) atau untuk tethered cord (jaringan parut yang menempel medula spinalis) diindikasikan hanya bila anak simtomatik.
Teknik bedah yang semakin baik tidak menimbulkan ketunaan fisik yang besar, defek spinal atau infeksi saluran kemih kronis dan infeksi paru yamg mempengaruhi kualitas hidup anak-anak ini. Hal yang memperberat masalah fisik adalah efek gangguan ini terhadap kehidupan dan keuangan keluarga, termasuk perlunya pelayanan sekolah dan rumah sakit khusus.
b. Pertimbangan ortopedik
Menurut banyak dokter ortopedi, masalah muskuluskeletal yang akan mempengaruhi lokomosi harus dievaluasi dini dan pengobatan, bila diindikasikan, tidak boleh ditunda-tunda. Pengkajian neurologik akan menentukan derajat neurosegmental dari lesi, pengenalan spastisitas dan paralisis progresif, kemungkinan adanya deformitas, dan harapan fungsional. Penatalaksanaan ortoperdik meliputi pencegahan kontraktur sendi, koreksi deformitas, pencegahan kerusakan kulit dan mendapatkan fungsi lokomosi yang baik. Status deficit neurologik tetap menjadi factor yang paling penting dalam menentukan kemampuan fungsional anak yang fundamental.
Berbagai alat tersedia untuk membantu mobilitas anak yang mengalami lesi medulla spinalis, termasuk korset yang ringan; alat bantu berjalan khusus dan kursi roda yang dibuat sesuai kebutuhan. Prosedur korektif, bila diindikasikan, paling baik dimulai pada usia muda sehingga perkembangan anak secara bermakna tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan anak kelompok usianya. Apabila ekstremitas bawah memiliki sedikit harapan untuk berfungsi kembali, pembedahan jarang direkomendasikan, kecuali prosedur ini dapat memperbaiki posisi pasien di kursi roda dan meningkatkan fungsi aktivitas hidup sehari-hari dan mobilitas.
c. Penatalaksanaan fungsi kemih-kelamin
Spina bifida merupakan salah satu penyebab disfungsi kandung kemih neuropatik (neurogenik) yang paling umum ditemui pada anak-anak, pada bayi tujuan pengobatannya adalah mempertahankan fungsi ginjal sedangkan pada anak-anak tujuannya adalah mempertahankan fungsi ginjal dan mencapai pengeluaran urine yang optimum. Inkontinensia urine yang kronik sering kali memperberat masalah yang muncul akibat disfungsi kandung kemih. Selain itu, disfungsi kandung kemih neuropatik menyebabkan anak cenderung menderita distress sistem perkemihan (infeksi, ureterohidronefrosis, dan refluks vesikoureteral). Karakteristik disfungsi kandung kemih pada anak bermacam-macam sesuai dengan derajat lesi dan pengaruh pertumbuhan serta perkembangan tulang pada tulang belakang. Karena itu, pemeriksaan urodinamik selama masa bayi dan masa anak-anak awal sangat penting karena fungsi kandung kemih berubah. Hidrosefalus berpotensi mempengaruhi fungsi kandung kemih, meskipun pengaruh spinal lebih dominan.
Pengobatan terhadap masalah ginjal meliputi :
1) Perawatan urologik berkala dengan pengobatan infeksi yang tepat dan saksama
2) Macam-macam pengosongan kandung kemih berkala seperti katerisasi intermiten yang bersih (clean intermittent catheterization, CIC), diajarkan dan dilakukan oleh orang tua dan katerisasi mandiri diajarkan kepada anak.
3) Obat-obat untuk memperbaiki daya tampung kandung kemih dan kontinensia, seperti oksipotinin klorida (Ditropan), propantelin (Pro-Banthine) dan tolterodin (Detrol)
4) Prosedur bedah seperti vesikostomi (stoma yang dibuat di dinding abdomen untuk drainase urine) dan enterositoplasti augmentasi (meningkatkan kapasitas kandung kemih dan menurunkan tekanan kandung kemih yang tinggi)
Anak dengan mielodisplasia jarang mengalami disfungsi kandung kemih yang berat yang menganggu fungsi ginjal atau menghasilkan inkontinensia urine yang sangat melemahkan dan sulit diobati dengan cara lain Diversi urine, khususnya dengan menggunakan kandung kemih kontinensia baru yang dibuat dari usus atau lambung, mungkin diperlukan. Bila memungkinan, kandung kemih baru ini dirancang dengan cara tertentu yang memungkinkan kontinensi dan CIC digunakan untuk mengevakuasi urine secara berkala.
(Wong, 2009)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN SPINA BIFIDA
A. Pengkajian
Pengumpulan data subyektif maupun obyektif pada gangguan system persarafan sehubungan dengan spina bifida tergantung dari komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan spina bifida meliputi anamnesa, riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
1. Anamnesa
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, asuransi kesehatan, diagnosa medis.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah adanya gejala dan tanda serupa dengan tumor medulla spinalis dan defisit neurologis. Keluhan adanya lipoma pada lumbosakral merupakan tanda penting dari spina bifida.
2. Riwayat penyakit saat ini
Adanya keluhan defisit neurologis dapat bermanifestasi sebagai gangguan motorik (paralisis motorik anggota gerak bawah) dan sensorik pada ekstremitas inferior dan/atau gangguan kandung kemih dan sfringter lambung. Keluhan adanyadeformitas kaki unilateral dan kelemahan otot kaki merupakan cacat yang tersering. Kaki kecil dapat terjadi ulkus trofik dan pes kavus. Keadaan ini dapat disertai defisit sensorik, terutama pada distribusi L3 dan S1. Keluhan gangguan sfringter kandung kemih ditemukan pada 25% bayi dengan keterlibatan neurologis, menimbulkan inkontinensia urine, kemih menetes, dan infeksi saluran kemih rekuren. Biasanya disertai pula dengan kelemahan sfringter ani dan gangguan sensorik daerah perianal. Gangguan neurologis dapat berangsur-angsur memburuk, terutama selama pertumbuhan massa remaja.
3. Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak, riwayat pernahkah mengalami meningomielokel sebelumnya, riwayat infeksi ruang subarakhnoid (terkadang juga meningitis kronis atau rekuren), riwayat tumor medulla spinalis, poliomyelitis, cacat perkembangan tulang belakang, seperti diastematomielia dan deformitas kaki.
4. Pengkajian psikososial
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien dan keluarga (orang tua) untuk menilai respons terhadap penyakit yang diderita dan perubahan peran dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien dan orang tua yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal.
5. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per system (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan dari klien.
a. Keadaan umum
Pada keadaan spina bifida umumnya mengalami penurunan kesadaran (GCS < 15) terutama jika sudah terjadi defisit neurologis luas dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.
b. B1 (Breathing)
Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan inaktivitas yang berat. Pada beberapa keadaan, hasil dari pemeriksaan fisik ini didapatkan tidak ada kelainan.
c. B 2 (Blood)
Nadi bradikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menandakan adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menunjukan adanya perubahan perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu syok.
d. B3 (Brain)
Spina bifida menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakarnial. Pengkajian B3(Brain) merupakan peemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
e. B4 (Bladder)
Pada spina bifida tahap lanjut, klien mungkin mengalami inkontinensia urine karena konfusi dan ketidakmampuan untuk menggunakan system perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfringter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan katerisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukan kerusakann neurologis luas.
f. B5 (Bowel)
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologis luas. Pemeriksaan bising usus untuk menilai ada atau tidaknya dan kualitas bising usus harus dikaji sebelum melakukan palpasi abdomen. Bising usus menurun atau hilang dapat terjadi pada paralitik ileus dan peritonitis.
g. B6 (Bone)
Adanya deformitas pada kaki merupkan salah satu tanda penting spina bifida. Disfungsi motor paling umum adalah kelemahan ekstremitas bawah. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralisis spastis dan mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat
6. Pemeriksaan diagnostik
Rontgen tulang belakang untuk mengidentifikasi adanya defek pada tulang belakang, biasanya terjadi pada arkus posterior vertebra pada garis tengah tulang yang besarnya bervariasi. Adanya spinal dyspropism atau pelebaran tulang belakang merupakan tanda khas radiologi pada lumbal (perkin, 1999).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Inkontinensia urin b.d Paralisis viseral
2. Resiko tinggi cidera b.d Paralisis spastik
3. Hambatan mobilitas fisik b.d paralisis motorik
C. Intervensi.
1. Inkontinensia urin b.d Paralisis viseral
Kriteria hasil / tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam diharapkan: enurisis, diurnal, dan noktural berkurang / tidak ada, klien berkemih dalam jumlah dan frekuensi normal.
Intervensi:
a. Kaji pola berkemih dan tingkat inkontinensia klien.
b. Berikan perawatan pada kulit klien yang basah karena urine (dilap air hangat kemudian dilap kering dan beri bedak.
c. Anjurkan ibu klien untuk sering memeriksa popok klien, jika basah segera diganti.
d. Kolaborasi dengan tim medis dalam memberi obat (misalnya: antikolinergik).
2. Resiko tinggi cidera b.d Paralisis spastic
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam diharapkan : orang tua klien tahu tentang hal-hal yang mengakibatkan cidera.
Intervensi :
a. Ajarkan atau anjurkan kepada orang tua untuk menghindarkan anak dari benda-benda yang berbahaya sehingga dapat menimbulkan cidera
b. Tunjukan kepada orang tua beberapa permainan yang tidak menimbulkan cidera.
c. Berikan pendidikan kesehatan kepada orang tua mengenai obat-obatan atau penanganan pertama jika terjadi cidera pada anak.
d. Berikan dukungan kepada anak agar tidak merasa rendah diri dengan kondisinya.
3. Hambatan mobilitas fisik b.d paralisis motorik
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi konfraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot. Klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi :
a. Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan. Kaji secara teratur fungsi motorik.
b. Ubah posisi klien tiap 2 jam.
c. Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang tidak sakit.
d. Melakukan gerak pasif pada ekstremitas yang sakit.
e. Pertahankan sendi 90 derajat terhadap papan kaki.
f. Inspeksi kulit bagian distal setiap hari. Pantau kulit dan membrane mukosa terhadap iritasi, kemerahan atau lecet-lecet.
g. Bantu klien melakukan latihan ROM. Perawatan diri sesuai toleransi.
h. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan Spina bifida merupakan anomaly dalam pembentukan tulang belakang yang disebabkan karena kekurangan asam folat. Asam folat itu dapat diperoleh dari berbagai makanan sehari-hari, seperti sayuran yang berwarna hijau, buah-buahan dan kacang-kacangan.
B. Saran
Kita sebagai seorang perawat harus mampu meminimalkan angka kejadian dari penyakit spina bifida yang disebabkan karena kekurangan asam folat dan untuk menganjurkan kepada ibu hamil untuk melakukan antenatal care.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily L,dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
Catzel, Pincus. 1994. Kapita Selekta Pediatri. Edisi II. Editor : Adrianto, Petrus. Jakarta : EGC.
Muttaqin,Arif.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta:Salemba Medika,2008.
Rendle, John Dkk. 1994. Ikhtisar Penyakit Anak Edisi 6 Jilid 2. Bina Rupa Aksara: Jakarta
Sacharin, Rosa M. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Editor : Ni Luh Yasmin. Jakarta: EGC.
Sadler,Embriologi Kedokteran.Edisi Sepuluh.Jakarta:Buku Kedokteran EGC,2010.
Wong,Donna L.et all.Buku Ajar Keperawatan Pedriatik.Edisi Enam.Jakarta:Buku Kedokteran EGC,2009.
http://www.medicastore.com
http://www.klikdokter.com
No comments:
Post a Comment
terima kasih sudah berkomentar di blog saya.....!!!!!